Atalarik Syach saat dijumpai di kediamannya di kawasan Cibinong, Jawa Barat pada Kamis (15/5/2025).
Atalarik Syach saat dijumpai di kediamannya di kawasan Cibinong, Jawa Barat pada Kamis (15/5/2025). (Grid.ID / Christine Tesalonika)
Rumah Atalarik Syach hancur lebur usai dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Cibinong, Bogor, Jawa Barat pada Kamis (15/5/2025).
Padahal, ia sudah menempati rumah tersebut sejak lebih dari dua dekade lalu. Disebutkan, lahan sengketa itu merupakan tanah dari PT Sabta yang sudah ia beli sejak tahun 2000.
Melihat rumahnya dieksekusi dengan mata kepala sendiri, Atalarik tidak merasa kapok. Justru ia merasa harus lebih pintar dalam membeli tanah di jaman sekarang.
Ia pun menceritakan awal mula dirinya meniti karier. Pada tahun 2000, ia baru dua tahun menjadi pemain sinetron. Maka dari itu, ia menyicil untuk membeli aset-aset seperti tanah.
"Bukan kapok, harus lebih pintar. Saya tahun 2000 itu baru jadi artis kurang lebih baru dua tahun jadi pemain sinetron. Belum ada duitnya, nyicil-nyicil," ujar Atalarik Syach di kawasan Cibinong, Jawa Barat pada Kamis (15/5/2025).
"Saya nyicil-nyicil, ya tanah di kampung masih murah. Bapak saya sudah nggak ada. Ngurus sendiri kehidupan, masih remaja," sambungnya.
Pada tahun 2015, permasalahan sengketa tanah yang melibatkan Atalarik Syach terjadi. Ia pun menganggap bahwa musibah tersebut sebagai sekolah kehidupan.
"Dibikin pintarnya baru sekarang. Dari 2015, pelan-pelan sekolah kehidupan namanya. Makanya saya nggak bisa cerita lebih banyak," ujarnya.
Mantan suami Tsania Marwah itu pun memberikan wejangan untuk warga Indonesia perihal legalitas tanah. Ia mengatakan bahwa seluruh surat-surat harus dijaga dengan rapi.
"Surat-suratnya dirapikan, sekarang itu di-digitalize. Ya, letter say semua dari kelurahan dijaga semuanya. Itu sih benar-benar saran, BPN-nya juga dijaga," ungkapnya.
Ia mengatakan hal tersebut karena saat hendak mengurus legalitas, Atalarik mengalami kendala. Salah satu dokumen penting yang disebut surat pelepasan hilang. Padahal kala itu ia telah mempercayakan kepada pihak Kecamatan.
"Terus, saya mau urus lagi udah nggak bisa. Jadi ada surat yang hilang namanya pelepasan, itu hilang katanya. Dulu tahun 2000 tuh nggak ada notaris. Jadi ya semua saya percayakan sama pegawai pemerintah ya di Kelurahan, Kecamatan, untuk urus semua ini," sambungnya.
Sementara itu, Panitera Pengadilan Negeri Cibinong, Eko Suharjono, menjelaskan tanah sengketa itu awalnya seluas 7.300 meter persegi. Namun setelah dilakukan penghitungan, menyusut menjadi 5.850 meter persegi.
Sebagai informasi, permasalahan sengketa tanah ini sudah ada sejak tahun 2015. Setelah melakukan proses di pengadilan, Dede Tasno memenangkan perkara pada tahun 2021. (*)
Posting Komentar
Posting Komentar