Rencana konser grup band legendaris Slank di Banda Aceh mendadak batal setelah Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Aceh tiba-tiba menagih biaya sewa venue mencapai Rp700 juta.
Padahal, konser tersebut sudah dijadwalkan berlangsung di Lapangan Memanah Stadion Harapan Bangsa, Sabtu (25/10/2025), sebagai bagian dari agenda Panggung Sumpah Pemuda 2025 dan peringatan 20 tahun perdamaian Aceh–RI (MoU Helsinki 2005–2025).
Kabar pembatalan ini langsung membuat publik Aceh geger.
Ribuan penonton yang sudah membeli tiket dan ratusan pekerja event shock mendengar kabar bahwa acara mendadak dibatalkan karena masalah administrasi dan sewa tempat.
Awalnya Sudah Dapat Izin, Tiba-tiba Dicabut
Koordinator acara, Fitri Syafruddin, menjelaskan bahwa pihak panitia sudah mendapatkan izin resmi dari Dispora Aceh sejak awal perencanaan.
Bahkan, pihaknya sudah menyiapkan semua peralatan, rigging, dan sistem tata cahaya sejak beberapa hari sebelum konser.
“Pada tahap awal, Dispora Aceh di bawah kepemimpinan sebelumnya telah mengeluarkan surat izin penggunaan lapangan. Namun secara mendadak, izin tersebut dicabut secara sepihak tanpa alasan hukum yang jelas,” ungkap Fitri, Sabtu (25/10/2025).
Akibat pencabutan itu, panitia memutuskan menunda acara ke tanggal 25 Oktober 2025, dengan harapan pimpinan baru Dispora bisa memberikan dukungan administratif lebih baik.
Namun, justru kejadian serupa terulang kembali.
“Sayangnya, di bawah kepemimpinan Plt. Kadispora yang baru, izin kembali bermasalah. Bahkan menjelang hari pelaksanaan, muncul permintaan biaya sewa yang fantastis tanpa dasar perhitungan yang jelas,” kata Fitri.
Dispora Tiba-tiba Tawarkan Tarif Fantastis Rp700 Juta
Fitri menjelaskan, pada awal Oktober, panitia sudah menerima surat izin penggunaan Lapangan Memanah dari Dispora Aceh, namun tanpa rincian tarif resmi atau invoice sebagai dasar pembayaran.
Namun, situasi berubah setelah rapat koordinasi dengan pihak Polda Aceh pada Selasa (21/10/2025).
Di situ, tiba-tiba muncul informasi baru: Dispora Aceh menetapkan tarif sewa Rp10.000 per meter persegi per hari, dengan alasan mengacu pada Qanun No. 4/2024 dan Pergub No. 34/2025.
“Berdasarkan ukuran lapangan sekitar 14.523 meter persegi, nilai yang diminta mencapai Rp145 juta per hari. Jika dikalikan dengan waktu pemakaian selama 5 hari, totalnya lebih dari Rp700 juta,” ujar Fitri.
Menurutnya, angka tersebut jauh dari wajar.
“Tidak ada dasar proporsional dalam perhitungannya. Nilai itu sama sekali tidak masuk akal untuk kegiatan kepemudaan non-komersial yang justru membawa dampak positif bagi Aceh,” katanya tegas.
Panitia Ajukan Keberatan, Venue Malah Dikunci
Panitia pun menyampaikan keberatan resmi dan meminta penjelasan tertulis.
Namun, bukan kejelasan yang didapat, melainkan penutupan paksa area Lapangan Memanah oleh petugas Dispora Aceh.
“Padahal seluruh vendor teknis, kru panggung, lighting, dekorasi, dan rigging sudah bekerja penuh memasang semua perlengkapan di lapangan. Begitu area dikunci, semua peralatan terkunci di dalam dan tidak bisa digunakan,” jelas Fitri.
Kondisi itu membuat panitia kelimpungan. “Kami sudah siapkan panggung utama, sistem suara, pencahayaan, semuanya terpasang dengan rapi.
Tapi begitu dikunci, kami tak bisa masuk untuk gladi resik maupun bongkar alat,” tambahnya.
Pada Jumat (24/10/2025) yang seharusnya digunakan untuk gladi resik teknis bersama Polda Aceh, kegiatan batal dilakukan karena venue tetap disegel tanpa surat resmi.
Permintaan Bayar ke Rekening Dispora, Bukan Rekening Pemerintah Aceh
Hal yang paling disesalkan panitia, kata Fitri, adalah karena pihak Dispora meminta pembayaran penuh ke rekening atas nama Dinas Pemuda dan Olahraga Aceh, bukan rekening resmi Pemerintah Aceh (BPKA).
“Ini menimbulkan pertanyaan serius dari sisi akuntabilitas keuangan. Kami tidak bisa melakukan pembayaran karena tidak ada dasar hukum dan dokumen legal seperti invoice resmi atau surat penagihan,” ujarnya.
Panitia pun meminta klarifikasi langsung kepada Kadispora Aceh, namun jawaban yang diterima justru semakin membingungkan.
“Kadispora menyampaikan bahwa lapangan tidak akan dibuka sebelum ada pembayaran penuh sesuai perhitungan Dispora. Tapi lagi-lagi, tidak ada dokumen resmi,” ungkap Fitri.
Karena tidak ada kejelasan administratif, panitia menolak melakukan pembayaran tanpa dasar hukum.
Akibatnya, akses ke venue tetap ditutup hingga hari H.
Upaya Darurat Pindah ke Taman Budaya Gagal
Dalam kondisi darurat, panitia sempat mencoba memindahkan acara ke Taman Budaya Aceh.
Namun, setelah dilakukan pengecekan teknis, lokasi tersebut dinilai tidak memenuhi standar keamanan dan kapasitas untuk konser nasional berskala besar.
“Izin secara lisan diberikan oleh Kadisbudpar Aceh, tapi setelah evaluasi teknis, ternyata Taman Budaya tidak memadai untuk kapasitas penonton dan peralatan konser Slank serta D’Masiv. Akhirnya, demi keselamatan dan kelayakan teknis, kami memutuskan menunda acara,” jelas Fitri.
Keputusan pembatalan diambil tepat pukul 23.55 WIB, hanya beberapa jam sebelum konser dijadwalkan dimulai.
Slank dan D’Masiv Gagal Tampil, Kerugian Ratusan Juta
Akibat kejadian tersebut, Slank dan D’Masiv yang sudah dijadwalkan tampil di Aceh akhirnya batal manggung.
Dua band besar itu diketahui sudah menyusun setlist dan latihan intensif untuk acara bertajuk Panggung Sumpah Pemuda 2025.
Selain itu, musisi lokal seperti Rafly Kande dan beberapa grup Aceh lainnya juga ikut dirugikan.
Mereka sudah berada di Banda Aceh selama sepekan penuh untuk latihan dan persiapan.
Fitri memperkirakan kerugian materi mencapai ratusan juta rupiah, mencakup biaya sewa panggung, transportasi, akomodasi artis, lighting, promosi, dan produksi yang sudah dibayar penuh.
“Selain kerugian finansial, kami juga rugi secara moral dan reputasi. Kami sudah dua kali menunda acara ini, semuanya karena ketidakjelasan administratif dari Dispora Aceh,” tegasnya.
Dukungan Publik dan Artis untuk Panitia
Meski acara batal, sejumlah musisi dan penggemar tetap memberikan dukungan moral kepada panitia. Akun resmi Slank di media sosial bahkan sempat mengunggah pesan singkat:
“Terima kasih untuk semua Slankers Aceh. Maaf belum bisa tampil, semoga ada waktu dan tempat yang lebih baik untuk ketemu lagi. Peace and respect.”
Sementara itu, beberapa warganet menilai pembatalan ini menjadi tamparan bagi birokrasi Aceh yang dinilai terlalu berbelit dan tidak transparan.
“Rp700 juta untuk sewa lapangan? Itu angka absurd. Tidak masuk akal untuk event publik seperti konser Sumpah Pemuda,” tulis seorang pengguna X (Twitter).
Panitia Tetap Berkomitmen Lanjutkan Acara
Fitri menegaskan, meski konser gagal digelar sesuai jadwal, pihaknya tetap berkomitmen untuk menyelenggarakan acara tersebut di waktu pengganti.
“PT Erol Perkasa Mandiri selaku penyelenggara tetap berkomitmen melaksanakan acara ini di waktu yang tepat. Semua artis dan mitra strategis kami siap mendukung. Kami percaya semangat kebersamaan dan kepemudaan di Aceh akan tetap hidup,” ujarnya.
Ia pun menyampaikan terima kasih kepada pihak kepolisian, mitra vendor, dan masyarakat Aceh yang tetap memberikan dukungan moral meski konser gagal digelar.
“Kami berharap sinergi lintas lembaga ke depan bisa lebih baik, agar kegiatan kepemudaan di Aceh bisa berlangsung dengan bermartabat dan transparan,” pungkas Fitri. (*)

Posting Komentar
Posting Komentar