Presiden ke-7 RI, Jokowi, yang beberapa waktu terakhir sibuk dengan isu dugaan ijazah palsu yang membelitnya, kini berpotensi dipidana.
Namun, bukan karena perkara ijazah, melainkan terkait dugaan adanya mark up pada proyek yang diinisiasinya semasa menjabat presiden, yaitu Kereta Cepat Jakarta Bandung atau Whoosh.
Proyek yang diresmikan 2 Oktober 2023 itu kini menanggung beban utang sampai Rp 116 triliun.
Hal itu disampaikan pengamat politik Rocky Gerung di channel Youtubenya @RockyGerungOfficial_2024, tayang Sabtu (18/10/2025).
"Sudah bertahun-tahun dibahas, apa pentingnya kereta cepat itu untuk mempercepat pergerakan masyarakat dari Bandung ke Jakarta, atau sebaliknya, dalam skala yang cuma beda setengah jam," tutur Rocky.
"Bahkan, mereka yang berbisnis merasa lebih mending naik mobil saja. Jadi, ada kalkulasi yang salah, yang menyebabkan kereta itu jadi beban utang, kita mesti bayar utang ke China."
"Sekali lagi, sebetulnya kereta cepat ini akhirnya skandal, karena tidak dilakukan dengan kehati-hatian, hingga sekarang dia [Whoosh] rugi. Jadi, kerugian itu harusnya dianggap sebagai ketidakcermatan pembuatan kebijakan, yang juga bisa kesengajaan. Mark-up tanpa konsultasi dengan DPR misalnya, yang sifatnya Business to Business akhirnya negara terlibat kalau dia bangkrut,"papar Rocky.
Menurut Rocky, pantas jika dugaan mark up pada proyek Whoosh yang dikaitkan dengan Jokowi berpotensi menjadi perkara pidana .
"Jadi banyak faktor yang bisa menerangkan kenapa sekarang publik menganggap bahwa potensi Pak Jokowi dipidanakan itu sangat besar," ujarnya.
Latar Belakang
Proyek Whoosh sendiri awalnya digagas sejak era Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2011, dengan Jepang sebagai mitra utama melalui JICA (Japan International Cooperation Agency).
Jepang telah melakukan studi kelayakan hingga menggelontorkan biaya sebesar 3,5 juta dollar AS, dan menawarkan pinjaman bunga rendah 0,1 persen dengan tenor 40 tahun, memakai skema Government-to-Government (G2G) dan biaya estimasi 5 hingga 6,2 miliar dollar AS.
Namun, pada 2015, Jokowi mendadak memilih China sebagai mitra untuk membangun Whoosh.
Alasannya, China menawarkan skema Business-to-Business (B2B) tanpa jaminan APBN, berbagi teknologi lebih luas, dan pinjaman sebesar 5 miliar dollar AS tanpa syarat ketat seperti Jepang, meski bunganya lebih tinggi, yakni 2 hingga 3,4 persen
Rocky Gerung juga menyebut, dari polemik Whoosh ini, Jokowi terlalu memaksakan proyek tanpa izin pada masyarakat Indonesia.
Hal ini dilihat dari urgensi Whoosh yang sebenarnya tidak terlalu mendesak, hingga akhirnya ketika terus berjalan, proyek tersebut justru membawa beban utang yang tidak kecil. (*)

Posting Komentar
Posting Komentar